Apa salahnya pamer gaya hidup glamor?

Banyak kritik dilontarkan pada para selebriti dan YouTuber yang mengumbar gaya hidup glamor. Beberapa artis yang dikritikpun meradang dan mengatakan bahwa sah-sah saja mereka menunjukkan kekayaan dan kesuksesan mereka saat ini, toh yang mencari uang dan bekerja keras kan mereka sendiri, bukan orang lain. Sanggahan mereka ini tentu saja tidak ada salahnya, benar malah! Jadi, apakah yang melihat konten mereka ini yang salah? Yaitu masyarakat luas yang mengidolakan mereka?

            Para selebriti atau YouTuber ini tentu saja tidak akan menjadi selebriti sukses apabila tidak ada masyarakat yang menonton konten mereka. Tentunya para penonton ini berharga sekali kan? Karena dengan adanya para penonton yang men-subscribe dan like, serta menjadi follower, tentunya akan meningkatkan pundi-pundi kekayaan mereka. Maka menjadi miris apabila para pembuat konten glamor ini menyalahkan penontonnya sendiri yang justru berjasa untuk mereka.

            Menurut saya, kita sebagai pembuat konten dan juga penonton harus mengevaluasi diri, mawas diri mengenai kejadian ini. Pertama, untuk para pembuat konten, sebaiknya buatlah konten yang memang berguna, bermanfaat untuk orang banyak. Bukan sesuatu yang membuat rakyat jelata – penonton – ini menjadi meneteskan air liur, karena membayangkan bagaimana bahagianya mereka apabila dalam posisi para selebriti ini. Hmm …

            Ada teori Psikologi yang cukup dapat menggambarkan kondisi ini, yaitu teori imitasi dari Albert Bandura. Jadi, menurut teori imitasi ini, biasanya anak-anak mencontoh apa saja yang dilakukan orang tuanya. Hal ini tidak hanya terjadi pada anak manusia, tetapi juga pada anak binatang atau hewan. Wajar saja apabila anak-anak mengidolakan dan menirukan tingkah polah orang tuanya, baik dari ucapan maupun perilaku. Apalagi bila yang mencontohkan adalah tokoh idola mereka.

            Begitu juga apabila yang menjadi follower para selebriti ini adalah anak-anak dan remaja, yang umumnya masih mencari identitas (menurut teori Psikologi dari Erik Erikson). Para orang dewasa juga masih dapat terjadi, terutama apabila mereka belum selesai dengan permasalahan identitas dan berkiblat pada para idola mereka.

            Apakah para pembuat konten tega menjerumuskan para follower mereka, demi ketenaran dan materi? Ini semua tergantung pada para pembuat konten itu sendiri. Saya tidak bisa memastikan satu-persatu, kecuali saya membuat penelitian tersendiri mengenai hal ini, atau mungkin dengan mewawancarai para selebriti atau pesohor tersebut.

            Di sisi lain, kita saat ini juga diramaikan dengan berita viral mengenai sebuah sinetron Indonesia mengenai poligami, yang dibintangi oleh anak berusia 15 tahun. Tentunya ini bukanlah contoh yang baik untuk masyarakat luas. Apabila pembuat sinetron berkilah bahwa film tersebut tidak akan membawa dampak serius bagi masyarakat, maka hal ini menurut saya salah besar. Sudah banyak kejadian, dimana film atau lagu membuat orang terinspirasi untuk melakukan hal yang tidak pantas. Sebagai contoh film ‘The Town’ justru menginspirasi orang-orang tertentu untuk merampok. Lagu ‘Gloomy Sunday’ juga dipercaya sebagai lagu pengantar orang melakukan bunuh diri, terutama di Hungaria, sebelum perang dunia kedua. Masih banyak contoh film dan lagu lainnya.

            Kita memang tidak dapat mengontrol hal apa yang akan membuat kerusakan dan mana yang tidak. Namun setidaknya kita dapat berhati-hati dalam membuat alur cerita yang cenderung dapat diinterpretasi negatif oleh masyarakat secara umum.

            Kedua, masyarakat penonton atau follower selebriti juga diharapkan dapat memilah-milah mana tayangan atau konten yang bermanfaat, dan mana yang tidak. Maka dari itu bekal mental dan moral yang cukup kuat diperlukan dalam hal ini. Bagi orang tua yang masih mempunyai anak kecil dan remaja, sebaiknya sering-sering berdiskusi mengenai tayangan dan tontonan yang sedang digandrungi anak-anak mereka. Kritik terhadap anak tidak akan membantu, malah membuat mereka semakin penasaran dengan tayangan tersebut. Maka dengan berdiskusi kita dapat tetap memantau apa yang ditonton anak, serta bagaimana interpretasi mereka terhadap tayangan tersebut.

            Himbauan kepada para pembuat konten juga penting, agar setidaknya membuat tayangan yang juga membuat penonton tergugah untuk bekerja keras, disiplin, dan jujur. Misalnya dengan menceritakan kisah mereka sebelum sukses. Kita juga sebagai penonton dapat memilih film atau konten yang berkualitas, yang memacu kita untuk selalu berpikiran positif dan berusaha dalam mencapai apa yang kita idam-idamkan.

            Pengawasan secara konsisten dari masyarakat dan pemerintah juga diperlukan, sehingga tontonan menjadi tetap berkualitas dan bermanfaat. Siapa lagi yang akan menjaga mental dan moral kita, kalau bukan kita bersama.

Keterangan:

Artikel ini sudah terbit di Kompas.com tanggal 23 Juni 2021

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Mawas Diri

Mawas diri dapat juga dipadankan dengan istilah lain yang mirip-mirip: refleksi, refleksi diri, atau evaluasi diri. Dalam Bahasa Inggris: reflection, self-reflection, alertness, self-examination, evaluation, self-evaluation, awareness, self-awareness, introspective, mindfulness, dan lain sebagainya.

Namun apakah sama artinya semua istilah tersebut dengan mawas diri? Sepertinya masih ada perbedaan ya. Kalau kita diminta untuk mengingat-ingat apa yang sudah kita lakukan dan bagaimana evaluasi kita terhadap diri kita secara keseluruhan, mungkin ini yang dinamakan refleksi diri. Akan tetapi kalau mawas diri itu tidak sekedar alertness (misalnya: ‘Awas, ada mobil!), karena alertness ini menunjukan kewaspadaan. Bukan juga ‘mindfullness’ yang mengedepankan kesadaran pada apa yang kita sedang lakukan dan lingkungan sekitar kita.

Mawas diri lebih jauh dari arti-arti tadi dalam pandangan saya. Mawas diri itu lebih kearah adanya kesadaran kita terhadap diri dan sekitar kita/lingkungan dengan penuh tanggungjawab, komitmen, serta usaha kita untuk selalu berhati-hati dan waspada terhadap semua yang akan kita lakukan. Dalam mawas diri juga ada unsur introspeksi diri. Jadi lengkap. Tentunya ini tugas yang tidak mudah.

Apabila kita kaitkan dengan situasi pandemi saat ini, maka mawas diri ini penting sekali. Apakah kita sudah mawas diri dengan diri dan lingkungan kita? Apakah kita mawas diri terhadap kesehatan diri kita dan juga orang lain? Apakah kita mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai kondisi dunia saat ini, sehingga mawas diri untuk menjaga diri sendiri dan orang lain?

Semua itu hanya bisa terjawab oleh diri kita masing-masing …

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Surrogates

Baru-baru ini Hong Kong membuat robot dalam bentuk manusia yang bernama ‘Grace’. Profesi Grace adalah sebagai seorang perawat. Grace ‘lahir’ karena adanya kebutuhan perawat yang dapat secara aman melayani pasien Covid-19. Grace dibekali  kecerdasan buatan seperti pendahulunya, yaitu Sophia.

            Fenomena penciptaan robot mirip manusia ini mengingatkan saya pada film yang dibintangi oleh Bruce Willis, yang berjudul ‘Surrogates’ pada tahun 2009. Film ini mengisahkan tentang manusia di bumi yang mempunyai kembaran robot, yang sangat mirip dengan manusia yang ditirunya. Robot ini bertugas untuk mewakili sang manusia dalam melakukan pekerjaan sehari-hari, terutama dalam berkarir di luar rumah. Jadi si empunya robot, yaitu manusianya sendiri, tidak perlu keluar rumah, hanya cukup mengaktifkan robotnya sambil tiduran di rumah masing-masing. Apabila robot ini mengalami kerusakan, maka dapat diperbaiki atau bahkan diganti dengan yang baru.

            Adanya film-film sejenis juga sudah banyak dibuat, misalnya film yang mirip adalah ‘Bionic woman, Six million dollar man, Robocop, Elysium’, dan masih banyak yang lainnya. Kisah film-film ini agak sedikit beda, karena bercerita mengenai ‘manusia setengah robot’. Para pemeran diceritakan sebagai orang yang mengalami kecelakaan, sehingga harus dilengkapi dengan mesin/robot yang canggih. Mereka bahkan mampu menumpas kejahatan.

            Namanya juga film, jadi sifatnya hanya fantasi semata, bukan suatu kebenaran mutlak. Akan tetapi saat ini dapat kita jumpai dalam berita atau dalam kenyataan, bahwa ada sebagian orang yang memang sudah mempergunakan mesin atau robot untuk mempermudah hidup mereka. Salah seorang mahasiswa saya ada yang memakai kaki palsu, mirip kaki robot, karena ia pernah kecelakaan sehingga salah satu kakinya harus digantikan dengan besi.

            Apabila kita melihat juga di sekeliling kita, maka banyak perkerjaan yang sekarang juga digantikan oleh robot atau mesin. Misalnya pekerjaan di pabrik, adanya drone sebagai alat penjinak bom, petugas parkir yang sekarang digantikan dengan palang pintu besi yang bersensor, dan sebagainya.

            Fenomena ini tentunya mempunyai dua aspek yang dapat kita diskusikan, karena di satu sisi mempermudah dan mengamankan hidup manusia, misalnya robot Grace. Namun di sisi lain banyak pekerjaan manusia yang dapat digantikan dengan robot, sehingga akan terjadi lebih banyak pengangguran karena sulit sekali mencari pekerjaan. Menurut saya, kita tidak dapat mundur lagi, harus terus maju. Seperti jaman dulu, kan juga tidak ada teknologi komputer atau internet, namun kita bisa survive. Apalagi jaman teknologi seperti ini, yang menuntut kita banyak belajar dan beradaptasi, mencari peluang yang dapat menguntungkan hidup kita. Jangan-jangan di jaman mendatang, kita semua punya semacam robot Grace sebagai asisten pribadi kita…sapa tau ..hehe…

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Intuisi: Amankah?

Malcolm Gladwell adalah penulis buku populer yang berjudul ‘Blink’. Ia menggambarkan bahwa kita bisa saja melakukan keputusan dalam waktu hanya 2 detik, yang disebutnya sebagai ‘snap judgment’.

Tentunya kalau kita mengacu pada teori Psikologi, keputusan yang dibuat dalam waktu sesaat itu lebih disebut sebagai perilaku yang impulsif. Misalnya kita melihat baju bagus di toko, kemudian sangat ingin memilikinya dan kemudian membelinya, maka itu dikatakan sebagai keputusan sesaat atau impulsif.

Para sales akan memanfaatkan teori ini, mengenai snap judgment, terutama ketika ada calon klien yang melihat-lihat barang dagangannya. Mereka akan ‘mengejar’ kita dalam hitungan detik, karena mereka mengetahui bahwa apabila waktu lewat dari hitungan detik, maka calon klien akan pergi dan tidak jadi membeli barang dagangannya. Maka tidak heran, apabila kita ke toko dan hanya akan melihat-lihat saja, eh … begitu sales datang dan berbicara dengan kita, akhirnya kita jadi membeli, walau pada dasarnya kita tidak membutuhkannya.

Namun tidak semua snap judgment itu buruk, apalagi kalau apa yang akan kita putuskan itu memang berada dalam ranah keahlian kita. Misalnya, kita ahli dalam wawancara karyawan, sudah berpuluh-puluh tahun kita dibidang ini. Maka begitu ada calon karyawan masuk, kita hanya perlu waktu beberapa detik saja untuk memutuskan apakah ia calon yang tepat atau tidak. Menurut saya ini ada kaitannya dengan ‘intuisi’, yaitu kemampuan untuk mengartikan suatu hal tanpa kita sadari secara langsung. 

Menurut saya intuisi itu tidak dapat datang begitu saja. Apabila kita bukan dibidang tersebut, maka akan sulit bagi kita mendapatkan intuisi yang benar. Misalnya, saya mempunyai keahlian di bidang Psikologi, maka akan sulit bagi saya mempunyai intuisi dalam bidang bisnis. Jadi intuisi baru akan berfungsi dengan baik dan optimal dalam bidang yang kita geluti bertahun-tahun lamanya, sehingga dapat berubah menjadi ‘skill’.

Para pencari bakat, contohnya dalam bidang musik atau seni, pasti mempunyai intuisi mana calon artis yang bakal sukses dan mana yang tidak. Mereka sudah mengobservasi hal ini mungkin dengan ratusan calon artis dulunya, sehingga hanya perlu ‘blink’ (berkedip) dan jadilah snap judgment yang tepat, akurat. Pertanyaannya sekarang, apakah memilih pacar perlu dengan snap judgment? Haha …

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Tokoh Idola: They’re just human

Tokoh idola saya, yang memicu saya kuliah di jurusan Psikologi, adalah MAW Brouwer. Saya sangat mengagumi beliau karena caranya dalam memberikan nasehat. Ia merupakan salah satu konselor Psikologi untuk koran Kompas Minggu pada saat saya masih SMA, sekitar 30 tahun lalu. Caranya memberikan nasehat tidak umum, karena kalau para psikolog memberikan nasehat yang lemah-lembut, namun ia memberikan nasehat secara ‘blak-blak-an, to the point’.

            Setelah sekian lama waktu berlalu, akhirnya saya menjadi psikolog juga, saya baru-baru ini membaca mengenai biografi beliau. Biografi mengenai perjalanan hidup dan karir MAW Brouwer sebagai Pastor dan Psikolog di Indonesia, padahal asal kelahirannya dari Belanda.

            Reaksi utama saya adalah terkejut. Bagaimana tidak? Tokoh idola saya ternyata juga hanya manusia biasa, dengan berbagai macam kekurangan dan kelemahan seperti kita pada umumnya. Saya dapat ikut merasakan di masa tuanya ia mengalami kesepian dan stres yang tidak dapat diatasi dengan baik.

            Ini sama halnya ketika saya membaca tentang tokoh idola lainnya: Gandhi dari India. Beliau juga banyak dipuji-puja di dalam maupun di luar negeri, namun ia juga manusia yang banyak kelemahan di sana-sini, terutama menurut pandangan keluarganya sendiri.

            Kalau saya renungkan lagi, kita banyak membuat usaha dan pemerolehan yang baik, dikenal orang lain sebagai orang yang mungkin ‘hebat, berhasil, sukses’. Namun, apakah keluarga kita juga menilai kita sebagai orang yang sama?

            Maka dari itu, apabila saya boleh memilih, maka saya memilih keduanya saja: keberhasilan dalam hidup biasa saja, namun juga masih berharga dan disayang oleh keluarga kita. Keberhasilan itu membawa dampak yang luar biasa, yang mungkin tidak akan dapat kita duga sebelumnya. Banyak kisah keberhasilan yang justru membawa duka. Sebab itu untuk menghadapi keberhasilan kita membutuhkan modal dan persiapan juga, yaitu salah satunya adalah mental yang kuat. Semoga keberhasilan kita bukanlah awal keruntuhan kita. Aaminn…

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Enough, ‘Gloomy Sunday’!

Lagu berjudul ‘Gloomy Sunday’ pernah dipercaya sebagai lagu untuk pengantar bunuh diri. Mengapa demikian? Karena pada masa lagu itu diciptakan (tahun 1933 di negara Hungaria) dan populer (apalagi setelah dibahasa Inggris-kan ditahun 1941), banyak orang yang cenderung memikirkan bunuh diri – setelah mendengarkan lagu tersebut.

            Tentunya hal ini perlu kita kaji dengan dasar yang kuat. Pertama, lagu ini diciptakan pada tahun 1933, yang tentunya menjelang masa Perang Dunia II ditahun 1939. Orang pada saat itu saya perkirakan sedang banyak yang mengalami tekanan atau stres akibat dampak dari kekacauan disemua belahan dunia kala itu. Kehidupan ekonomi dan sosial tentunya juga sangat sulit, sehingga beberapa orang berpikiran untuk mengakhiri hidupnya daripada menderita.

            Kedua, ada beberapa orang yang memang mempunyai stabilitas emosi dan juga kepribadian yang cenderung kurang kuat. Mereka sangat menghayati apapun yang terjadi dalam diri dan hidup mereka, terutama dengan adanya ‘kesengsaraan’ dalam hidup. Kondisi ini seperti menjadi legitimasi bagi mereka bahwa sah-sah saja untuk memikirkan tentang bunuh diri.

            Apabila kita meminjam istilah dalam penelitian secara ilmiah, maka terdapat  independent, moderator, dan dependent variable. Bila kita mengandaikan bahwa tekanan mental/stres/depresi adalah independent variable (variabel bebas). Lagu-lagu melankolis yang terlalu dihayati (seakan mewakili diri dan kondisi yang terjadi pada kita) dapat dianggap sebagai moderator variable,  sedangkan dependent variable (variabel tergantung) adalah percobaan bunuh diri. Jadi dapat saja lagu-lagu melankolis ini sebagai moderator yang memperkuat keinginan atau pikiran tentang percobaan bunuh diri pada orang-orang tertentu. Namun, tidak selalu demikian, karena ada juga orang yang mencoba bunuh diri, tanpa ada perantara mendengarkan lagu-lagu tertentu terlebih dahulu.

            Kalau variabel moderator berupa lagu melankolis ini sifatnya memperkuat (pada orang-orang tertentu), maka untuk mengatasi pemikiran bunuh diri maka kita harus mencari moderator lain yang akan memperlemah pemikiran negatif ini. Sebagai contoh, ketika seorang remaja merasa sangat sedih karena putus cinta, maka sebaiknya ia membaca buku-buku yang memotivasi diri agar segera bangkit dari kesedihan. Begitu juga dengan hal ini, hendaknya setiap orang dapat mencari dan menemukan variabel moderator apa yang dapat memperkuat hal-hal positif dalam dirinya, serta membantunya dalam mengatasi masalah.

            Ada orang yang mungkin saja membutuhkan orang lain yang mendukung apabila ia ingin menceritakan permasalahannya. Bukan untuk mencari solusi, akan tetapi sekedar mencurahkan isi hati dan kemudian mendapatkan insight dari permasalahannya tersebut. Selain itu, beberapa orang membutuhkan refreshing agar dapat mengisi daya pikirnya kembali agar lebih segar dalam memikirkan solusi permasalahan yang dihadapinya. Mungkin apabila kita menyukai music, maka kita dapat mendengarkan lagu-lagu yang menginspirasi, misalnya lagu yang ceria, sehingga dapat sekedar mengurangi beban pikiran kita.

            Namun menurut saya, kita perlu ‘step back and then go forward’, jadi mundur sebentar (mungkin 1 atau 2 hari) untuk tidak memikirkan semua yang menjadi beban pikiran kita, dan setelah itu maju kembali untuk mencari solusi permasalahan. Ada kalanya kita mendapatkan nasehat, bahwa semua masalah akan hilang sejalan dengan waktu atau waktu yang akan menyembuhkan. Iya kalau hilang, iya kalau sembuh, kalau tidak? Apakah kita mau  menanggung resiko berpenyakit tahunan yang tidak kunjung sembuh dan tidak ada obatnya? Maka, mari kita teriakan bersama: “That’s enough, gloomy Sunday”.

Pesan moral:

Janganlah kita hanya berani mati, tapi beranilah hidup! Apabila anda merasa mempunyai pemikiran negatif, terutama mengenai bunuh diri, segeralah hubungi orang yang professional dalam bidang ini. Psikolog, psikiater, keluarga, sahabat, atau siapapun orang yang anda anggap dapat menolong diri anda.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Like Butter

Nikmat rasanya mendengarkan lagu ceria ‘Butter’ BTS. Pikiran sayapun tenang dan senang. Memang melakukan sesuatu yang kita sukai akan beda rasanya dari melakukan sesuatu yang ‘terpaksa’ harus kita kerjakan. Maka beruntunglah orang-orang yang dapat melakukan suatu pekerjaan yang memang sekaligus hobi dari orang tersebut. Misalnya seperti grup musik Korea BTS tadi, mereka melakukan kesukaannya dalam menyanyi dan menari, sekaligus berkarir dan menghasilkan pendapatan yang lebih dari cukup.

            Tentunya kesuksesan tidak datang pada BTS begitu saja, serta orang terkenal lainnya yang sukses dibidangnya. Sudah banyak saya baca mengenai bagaimana perjuangan orang dalam mencapai apa yang mereka cita-citakan. Berjuang untuk sesuatu yang kita sukai dan cintai tentunya justru akan menambah semangat dan tantangan untuk mencapainya.

            Kebalikannya, terkadang ada suatu hal yang ‘terpaksa’ harus kita lakukan karena tidak ada pilihan lain. Misalnya, hobi dan cita-cita Ali (nama samaran) adalah menjadi orang terkenal dalam bidang musik. Ia sudah berusaha berlatih, ikut banyak lomba-lomba idol, namun nasib belum sepenuhnya berpihak padanya. Ali seringkali gagal dalam mencoba menggeluti bidang yang ia sukai tersebut. Orang tuanya juga memaksanya untuk kuliah dalam bidang manajemen ekonomi, yang semakin ‘menambah penderitaannya’. Namun siapa sangka, ternyata Ali saat ini menjadi produser musik yang cukup terkenal, yang didukung dengan bekal ilmu manajemen ekonominya.

            Intinya adalah berusahalah menyukai apa yang kita memang terpaksa harus lakukan. Selalu berpikir positif, bahwa semua yang kita harus lakukan ada kalanya justru menjadi penolong kita di kemudian hari. Di sisi lain, apabila kita menyukai sesuatu dan ada kesempatan menekuninya, maka berusahalah menekuni dan konsisten mempelajari dan menguasainya, karena tanpa kita sadari hal ini juga akan menolong kita di kemudian hari. Sebagai contoh, RM yang berperan sebagai leader BTS, sangat senang menonton film serial “Friend” sewaktu ia masih remaja. Ia mempelajari Bahasa Inggris melalui film-film tersebut. Siapa sangka bahwa apa yang ia pelajari dahulu, ternyata menjadi bekal yang sangat berguna ketika dia berkarir secara global, dengan dunia di luar negaranya sendiri.

            Selalu berusaha dan yakin bahwa semua ada waktu dan masanya, begitu juga dengan diri kita. Yakinlah bahwa suatu saat nanti kita akan diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk mencapai apa yang kita cita-citakan, dalam waktu dekat ataupun jauh. Maka bersiap-siaplah menghadapi momen tersebut, dengan tetap berusaha dan berdoa.

Dipublikasi di Uncategorized | Tag , | Meninggalkan komentar

Mengubah Paradigma Anak: Tidak Semua Orang Harus Menjadi Pegawai

Pandemi Covid-19 membawa dampak yang serius dalam semua lini kehidupan, tidak terkecuali pada para pegawai atau karyawan. Pemberitaan Kompas tanggal 10 Maret 2021 mengenai “Angka PHK Melonjak Tajam” membuat penulis tersentak. Bagaimana kondisi ini tidak membuat kaget, karena angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di tahun 2020 tercatat 20 kali lebih banyak dibanding tahun 2019! Lebih lanjut, Kementrian Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa terdapat 386.877 karyawan yang terkena PHK ditahun 2020, dibandingkan ‘hanya’ 18.911 orang ditahun 2019 (Kompas, 12 Maret 2021).

Mari kita bayangkan, berapa banyak angka pengangguran yang ada saat ini. Tentunya sangat banyak dan akan bertambah banyak lagi ditahun-tahun mendatang, seiring dengan lulusnya para siswa menengah atas dan juga mahasiswa. Cita-cita mereka ingin menjadi karyawan kantoran terpaksa harus dihentikan paksa. Jangankan berpikir jadi pekerja di perusahaan besar, perusahaan kecilpun belum membuka lowongan lagi.

Banyak orang yang akhirnya harus mengubah paradigma lama, yaitu kalau bekerja harus sesuai dengan latar belakang pendidikan. Tidak jarang kita lihat selama masa pandemi ini banyak orang mengubah arah pekerjaan, walau berarti dalam hal ini orang tersebut harus belajar dan berusaha mulai dari nol lagi. Semua ini memang harus dijalani karena kalau tidak kita akan semakin terkungkung dalam kondisi stres yang tidak berkesudahan.

Jadi apakah kita tidak perlu sekolah atau kuliah, apalagi yang tidak sesuai dengan bidang yang kita minati? Sekolah tetap harus dan wajib, karena dengan sekolah kita mendapatkan pendidikan dan wawasan yang luas. Pendidikan inilah bekal kita dalam mengatasi permasalahan dan menghadapi tantangan hidup. Maka itu kita harus mengubah paradigma, bahwa pendidikan tidak selalu identik dengan pekerjaan yang akan kita tekuni nantinya, seperti kata pepatah bahwa “banyak jalan menuju Roma”.

Para remaja, bahkan yang masih anak-anak saat ini, diharapkan mulai menekuni hobi atau hal yang mereka sukai. Hal ini karena di masa pandemi, semua berubah arah, bahkan banyak profesi baru yang muncul. Bahkan ada Fakultas yang relatif ‘baru’ dibeberapa Universitas di Indonesia, misalnya Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Fakultas Teknik Biomedis, Fakultas Rekayasa Nanoteknologi, Fakultas Teknologi Sains Data, Fakultas Teknik Robotika dan Kecerdasan Buatan, dan masih ada yang lainnya. Hal ini berarti ada profesi baru yang dapat kita tekuni, sesuai dengan minat kita. Sebaliknya, ada pekerjaan yang bisa kita tekuni dan sesuai dengan minat kita, walau tidak sejalan dengan bidang pendidikan kita. Sebagai contoh, ada seorang sarjana Akuntansi yang justru berhasil menjadi pengusaha perhiasan di Amerika, laris malah. Ada juga penyiar radio yang cukup terkenal, yang sebenarnya adalah seorang dokter.

Kita perlu menekankan pada generasi muda bahwa tidak usah takut tidak mendapatkan pekerjaan, apalagi dimasa pandemi. Asalkan kita bisa menekuni hobi kita yang dapat kita jadikan penghasilan kita. Misalnya anak yang mempunyai hobi fotografi, kita arahkan agar rajin berlatih, bila perlu ikut lomba-lomba fotografi, sehingga hal ini juga dapat menjadi sumber pendapatannya dikemudian hari atau justru mulai dari saat ini. Anak yang suka sekali memasak, kita arahkan agar ia lebih menyukai hobinya ini misalnya dengan menemaninya berlatih atau memfasilitasinya dengan kursus memasak dan sebagainya. Paradigma lama bahwa semua orang harus jadi pegawai kantor harus diubah menjadi paradigma baru, bahwa lebih baik menjadikan hobi kita sebagai sumber pendapatan kita.

Tentunya hal ini tidak dapat dilakukan oleh anak seorang diri. Ia masih membutuhkan dukungan dari orang tua dan guru. Maka orang tua dan guru dapat mengobservasi anak dan mengetahui apa yang menjadi bakat dan minat dari anak. Memang untuk mengerjakan suatu hal yang anak minati, tapi kurang didukung oleh bakat, tentunya akan lebih sulit daripada bila anak mempunyai bakat. Namun suatu hal yang sulit juga apabila anak tidak mempunyai minat tertentu, akan tetapi ia memiliki bakat dibidangnya. Situasi ini akan lebih mudah apabila ada konselor sekolah atau psikolog yang dapat melakukan pemeriksaan atau asesmen, mengenai bakat dan minat yang dominan dari anak tersebut.

Mana yang lebih baik: apakah anak mempunyai minat atau bakat terlebih dahulu? Menurut penulis lebih baik memiliki minat yang tinggi pada hal tertentu terlebih dahulu, sehingga motivasi yang kuat ini dapat memacu anak untuk terus berlatih walaupun bakatnya dibidang tersebut tidak terlalu besar. Maka sebaiknya anak dapat menunjukkan beberapa hal yang ia minati, setidaknya dua atau tiga hal, bukan hanya satu pilihan.

Orang tua dan guru diharapkan mendukung anak agar dapat mengeksplorasi minat dan bakatnya. Misalnya dengan memberikan banyak wawasan pada anak mengenai pekerjaan yang ada. Mengajak anak ke planetarium, kebun binatang, pantai, laut, gunung, danau, perpustakaan, mercusuar, dan lain sebagainya (walau secara daring), sedikitnya akan membuka wawasan anak bahwa banyak pekerjaan yang dapat ditekuni. Kegiatan ini juga dapat mendorong tumbuhnya minat dalam diri anak mengenai hal tertentu.

Kemudian, setelah anak mengeksplorasi apa saja yang ia minati, kita dapat mengajak anak berdiskusi dan menggantungkan ‘bintang’ sebagai tujuan akhirnya nanti. Penting bagi anak untuk memiliki visi dan tujuan yang ingin dicapai, sehingga ia pun menjadi lebih termotivasi dalam meraih cita-citanya.

Selanjutnya, dampingi anak dalam mengejar impian tersebut. Kita sebagai orang tua dan guru dapat membantu dalam mencari informasi yang dibutuhkan. Misalnya bila anak suka sekali menggambar atau melukis, kursus apa yang perlu diikuti, lomba-lomba apa yang merupakan peluang bagi anak, media apa yang dibutuhkan untuk mempertunjukkan hasil karya anak, dan sebagainya.

Terakhir, walau masih banyak hal lain yang dapat diuraikan, adalah menekankan pada anak bahwa dalam setiap hal ada keberhasilan dan juga kadang ada kegagalan. Tidak usah takut gagal, karena keberhasilan juga membutuhkan keberanian. Selalu berusaha dan berdoa merupakan tips jitu disegala kondisi, bahkan pada masa pandemi Covid-19.

Artikel ini sudah terbit di Kompas.com, 17 Maret 2021.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Menyingkap tabir manusia melalui Corona

Teori mengenai kepribadian individu sudah banyak diteliti oleh pakar Psikologi. Salah satunya adalah penemu teori NEO-PI yaitu Costa dan McCrae. Mereka menyebutkan bahwa kepribadian manusia dapat dikategorikan menjadi 5, yaitu neuroticism (neurotisme), extraversion (ekstraversi), openness to experience (keterbukaan terhadap hal-hal baru), agreeableness (mudah bersepakat), dan conscientiousness (kehati-hatian).

Selain itu juga ada teori mengenai altruism dalam ranah psikologi sosial, salah satunya oleh Dovidio dan Piliavin.

Menyingkap tabir sifat manusia seperti ini bukanlah perkara mudah. Para peneliti mengadakan eksperimen, seperti halnya Zimbardo ketika meneliti mengenai bagaimana berbahayanya suatu power apabila diberikan pada manusia yang kurang bertanggungjawab.

Atau ketika diadakan eksperimen oleh Milgram mengenai kepatuhan, yaitu orang cenderung taat pada orang lain apabila mereka mempunyai otoritas tertentu.

Semua penelitian ini membutuhkan usaha keras para peneliti agar menghasilkan suatu teori yang mumpuni dan dapat dipertanggungjawabkan di masyarakat.

Namun demikian, apabila kita melihat kondisi di sekitar kita sejak dunia terjangkiti Corona di awal tahun ini, maka kita pun dapat menjadi seorang peneliti, hanya dengan mengobservasi lingkungan sekitar kita.

Kita melihat bagaimana sebagian besar para dokter dan tenaga medis yang mempunyai jiwa altruis sehingga tidak mengindahkan besarnya bahaya yang akan mereka alami, bahkan taruhannya nyawa. Sudah cukup banyak dokter dan tenaga medis yang akhirnya meninggal karena menolong penderita corona. Mereka ini dapat dikatakan berjiwa altruis, sehingga dengan kesadaran penuh dan sukarela menolong orang lain tanpa memperhatikan keselamatannya sendiri.

Di sisi lain, kita juga dapat melihat adanya sifat orang yang kurang memikirkan orang lain. Mereka bepergian kemana-mana, tidak menjaga jarak yang dianjurkan pemerintah. Meraka sepertinya kurang mempunyai empati atau kepekaan mengenai perasaan orang lain, mereka sulit membayangkan, bagaimana apabila mereka terkena penyakit karena Corona dan kemudian berkumpul dengan orang lain, terutama keluarga mereka sendiri.

Ada juga orang yang dengan tanpa perasaan bersalah menyebarkan ‘hoax’, karena menganggap apa yang mereka sebarkan tidak berbahaya. Walau pada kenyataannya berita bohong ini justru menyebabkan teror ketakutan dan kecurigaan yang tidak pada tempatnya. Wabah corona dianggap sebagai lelucon dan bisa ditertawakan bersama.

Ditengah kondisi mara bahaya seperti ini, sudah seharusnya kita mengingatkan orang-orang terdekat kita untuk waspada dengan sifat kita masing-masing. Apakah kita adalah orang yang berjiwa petualang, sehingga selalu mencari tantangan (openness to experience)? Atau kita mempunyai jiwa prososial yang tinggi, yang mengarah ke alturis, sehingga ingin menolong orang lain tanpa pamrih?

Kita dapat mengkaji sendiri sifat kita, salah satunya dengan cara membuat bagan Johari window. Johari Window adalah teori yang dibuat oleh Joseph Luft dan Harrington Ingham, yang menyebutkan bahwa ada empat kuadran yaitu open, blind, hidden, unknown.

Hal ini dapat kita lakukan dengan cara:

#Selalu berusaha berpikir positif dan menularkannya pada orang lain. Kita dapat menegur secara halus orang yang menyepelekan kondisi wabah ini, dengan mengatakan bahwa wabah corona bukanlah sebuah lelucon, ini kondisi nyata dan sudah banyak korban berjatuhan

#Meningkatkan perilaku prososial kita, misalnya apabila kita bukan dokter atau tenaga medis yang bisa menolong langsung pasien, maka kita dapat memberikan donasi atau sumbangan yang diperlukan

#Memberikan contoh pada orang terdekat kita, dengan cara melakukan hidup sehat. Misalnya dengan selalu mencuci tangan setiap habis dari luar, berolahraga dalam rumah, melakukan kegiatan yang bermanfaat, menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai

#Menjaga semangat bekerja dari rumah, bahwa kita sedang bekerja di rumah, sehingga tetap perlu ada penjadwalan kerja dan penyelesaian pekerjaan sesuai tengat waktunya

#Menikmati menjalin percakapan atau bersosialisasi melalui media sosial, walau kita sebagai mahluk sosial yang katanya harus bertemu secara langsung. Namun dengan adanya wabah corona ini membuat kita harus beradaptasi dengan semua hal, tidak terkecuali dengan cara kita berkomunikasi

#tetap berdoa dan berkeyakinan bahwa wabah corona ini pasti akan berakhir, sehingga kita harus tetap menjaga jiwa dan badan kita agar selalu sehat dan kuat.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Menjadi Siswa Berintegritas: Apa Pentingnya?

            Belajar secara daring, sesuai dengan anjuran pemerintah dalam hal ini Menteri Pendidikan Republik Indonesia, membuat semua menjadi relatif lebih mudah. Sebagian besar mahasiswa mengakui bahwa belajar daring itu membuat hemat karena tidak perlu ada biaya transportasi dan juga kost (apabila dari luar kota), semua bahan bacaan dapat ditelusuri dengan internet, dan lain sebagainya (hasil survey Fakultas X Universitas Y, Oktober 2020). Namun demikian ada juga sisi negatif pembelajaran daring, antara lain adalah rentan terjadi kesalahpahaman atau perbedaan persepsi antara mahasiswa dengan dosen (karena komunikasi lewat media whatsapp), kurangnya pemahaman terhadap pembelajaran karena kuliah diberikan daring, kerjasama dengan teman dalam mengerjakan tugas kelompok menjadi kurang lancar, dan terdapat kecenderungan terjadinya plagiarisme.

            Selama pembelajaran daring ini penulis mengamati bahwa terdapat kecenderungan plagiarisme di kalangan mahasiswa . Ketika penulis melakukan uji Turnitin (salah satu program untuk mendeteksi tingkat plagiarisme) terhadap tugas yang diberikan mahasiswa, maka terlihat adanya tingkat plagiarisme yang cukup tinggi. Penulis menguji sebanyak 75 berkas mahasiswa dalam kurun waktu sekitar 1 tahun (mulai dari Agustus 2019 sampai Oktober 2020), sebanyak 27 berkas mendapatkan nilai Turnitin sebesar 30% sampai 83% (36% dari keseluruhan berkas yang diuji). Tentunya hasil ini bukanlah suatu prestasi yang membanggakan. Indikasi terjadinya kecenderungan plagiarisme tidak dapat dianggap remeh dan ada kecenderungan meningkat.

            Kesalahan siapakah ini semua? Menurut penulis ini bukanlah faktor tunggal, karena semua faktor saling berhubungan. Apabila dikaji dengan teori dari Urie Bronfenbrenner tahun 2006 (dalam Ettekal & Mahoney, 2017), yaitu teori ecological systems theory yang menjelaskan peranan akrif individu dalam proses perkembangan. Dalam teori ini dijelaskan bahwa pada dasarnya manusia terhubung dengan empat sistem lingkungan, yaitu microsystem, mesosystem, exosystem, dan macrosystem. Penekanan pada microsystem adalah interaksi antara individu dalam suatu konteks dengan konteks lainnya. Misalnya perilaku anak merupakan interaksi dari pengaruh orang tua dan sekolah. Sebagai contoh, anak akan menganggap perilaku mencontek tidak menjadi masalah apabila orang tua tidak memberikan perhatian pada hal ini. Anak mendapatkan nilai bagus karena hasil mencontek, tapi orang tua mengetahui dan bahkan memuji anak. Kemudian, sekolah tidak memberikan tindakan tegas, karena tidak terlalu perhatian dengan kondisi tersebut.

            Pada mesosystem, terjadi adanya interaksi antara beberapa microsystem. Misalnya orang tua berinteraksi dengan guru di sekolah mengenai nilai anak. Orang tua marah pada guru karena mengganggap guru tidak memberikan nilai yang adil pada anaknya. Guru berargumen bahwa anak melakukan kecurangan akademik di sekolah. Namun orang tua tidak percaya dengan hal ini, karena anak di rumah selalu baik-baik saja dan tidak menunjukkan gejala melakukan kecurangan akademik. Kemudian, pada exosystem, berisi adanya kondisi yang berperan terhadap perkembangan individu (misalnya dalam hal ini anak), namun anak tidak terlibat langsung dalam kondisi ini. Sebagai contoh, pengaruh televisi terhadap perkembangan anak (misalnya perkembangan moral). Anak setiap hari terpapar dengan tontonan sinetron, yang mengedepankan kehidupan mewah tapi tanpa kerja keras, misalnya. Kondisi ini dapat saja membuat anak tergerak untuk melakukan tindakan curang, karena tidak ingin berusaha lebih keras untuk mencapai tujuan.

            Terakhir, macrosystem yaitu sistem yang mengelilingi semua sistem sebelumnya. Sistem ini dapat mewakili nilai, ideologi, hukum, masyarakat, dan budaya. Sebagai contoh ada perbedaan budaya mengenai integritas di Indonesia dengan negara lain misalnya. Di beberapa budaya tertentu, ada keengganan apabila berbeda dari orang lain dalam kelompoknya, sehingga hal ini menjadi salah satu pendorong orang melakukan perilaku tertentu. Misalnya, ada siswa yang akan dirundung (bully) apabila tidak memberikan contekkan kepada temannya di saat ujian, dan lain sebagainya. Anak harus menonton konser musik (walau sebenarnya ia tidak menyukainya), karena desakan teman-teman satu kelompoknya.

            Sebagai kesimpulan, menjadi orang yang berintegritas bukanlah suatu hal yang mudah, karena terkait dengan banyak hal dalam dan di luar diri individu. Namun demikian, kita harus selalu mengedepankan pemikiran positif dan menjunjung nilai-nilai kejujuran dan kebenaran, karena integritas mencerminkan diri dan identitas diri kita yang sebenarnya. Orang menjadi mempunyai harga diri yang tinggi dan dihargai, karena menjunjung tinggi integritas dan nilai-nilai kebenaran.

Keterangan:

Tulisan ini telah terbit di Kompas.com pada tanggal 7 Desember 2020.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar