Apa salahnya pamer gaya hidup glamor?

Banyak kritik dilontarkan pada para selebriti dan YouTuber yang mengumbar gaya hidup glamor. Beberapa artis yang dikritikpun meradang dan mengatakan bahwa sah-sah saja mereka menunjukkan kekayaan dan kesuksesan mereka saat ini, toh yang mencari uang dan bekerja keras kan mereka sendiri, bukan orang lain. Sanggahan mereka ini tentu saja tidak ada salahnya, benar malah! Jadi, apakah yang melihat konten mereka ini yang salah? Yaitu masyarakat luas yang mengidolakan mereka?

            Para selebriti atau YouTuber ini tentu saja tidak akan menjadi selebriti sukses apabila tidak ada masyarakat yang menonton konten mereka. Tentunya para penonton ini berharga sekali kan? Karena dengan adanya para penonton yang men-subscribe dan like, serta menjadi follower, tentunya akan meningkatkan pundi-pundi kekayaan mereka. Maka menjadi miris apabila para pembuat konten glamor ini menyalahkan penontonnya sendiri yang justru berjasa untuk mereka.

            Menurut saya, kita sebagai pembuat konten dan juga penonton harus mengevaluasi diri, mawas diri mengenai kejadian ini. Pertama, untuk para pembuat konten, sebaiknya buatlah konten yang memang berguna, bermanfaat untuk orang banyak. Bukan sesuatu yang membuat rakyat jelata – penonton – ini menjadi meneteskan air liur, karena membayangkan bagaimana bahagianya mereka apabila dalam posisi para selebriti ini. Hmm …

            Ada teori Psikologi yang cukup dapat menggambarkan kondisi ini, yaitu teori imitasi dari Albert Bandura. Jadi, menurut teori imitasi ini, biasanya anak-anak mencontoh apa saja yang dilakukan orang tuanya. Hal ini tidak hanya terjadi pada anak manusia, tetapi juga pada anak binatang atau hewan. Wajar saja apabila anak-anak mengidolakan dan menirukan tingkah polah orang tuanya, baik dari ucapan maupun perilaku. Apalagi bila yang mencontohkan adalah tokoh idola mereka.

            Begitu juga apabila yang menjadi follower para selebriti ini adalah anak-anak dan remaja, yang umumnya masih mencari identitas (menurut teori Psikologi dari Erik Erikson). Para orang dewasa juga masih dapat terjadi, terutama apabila mereka belum selesai dengan permasalahan identitas dan berkiblat pada para idola mereka.

            Apakah para pembuat konten tega menjerumuskan para follower mereka, demi ketenaran dan materi? Ini semua tergantung pada para pembuat konten itu sendiri. Saya tidak bisa memastikan satu-persatu, kecuali saya membuat penelitian tersendiri mengenai hal ini, atau mungkin dengan mewawancarai para selebriti atau pesohor tersebut.

            Di sisi lain, kita saat ini juga diramaikan dengan berita viral mengenai sebuah sinetron Indonesia mengenai poligami, yang dibintangi oleh anak berusia 15 tahun. Tentunya ini bukanlah contoh yang baik untuk masyarakat luas. Apabila pembuat sinetron berkilah bahwa film tersebut tidak akan membawa dampak serius bagi masyarakat, maka hal ini menurut saya salah besar. Sudah banyak kejadian, dimana film atau lagu membuat orang terinspirasi untuk melakukan hal yang tidak pantas. Sebagai contoh film ‘The Town’ justru menginspirasi orang-orang tertentu untuk merampok. Lagu ‘Gloomy Sunday’ juga dipercaya sebagai lagu pengantar orang melakukan bunuh diri, terutama di Hungaria, sebelum perang dunia kedua. Masih banyak contoh film dan lagu lainnya.

            Kita memang tidak dapat mengontrol hal apa yang akan membuat kerusakan dan mana yang tidak. Namun setidaknya kita dapat berhati-hati dalam membuat alur cerita yang cenderung dapat diinterpretasi negatif oleh masyarakat secara umum.

            Kedua, masyarakat penonton atau follower selebriti juga diharapkan dapat memilah-milah mana tayangan atau konten yang bermanfaat, dan mana yang tidak. Maka dari itu bekal mental dan moral yang cukup kuat diperlukan dalam hal ini. Bagi orang tua yang masih mempunyai anak kecil dan remaja, sebaiknya sering-sering berdiskusi mengenai tayangan dan tontonan yang sedang digandrungi anak-anak mereka. Kritik terhadap anak tidak akan membantu, malah membuat mereka semakin penasaran dengan tayangan tersebut. Maka dengan berdiskusi kita dapat tetap memantau apa yang ditonton anak, serta bagaimana interpretasi mereka terhadap tayangan tersebut.

            Himbauan kepada para pembuat konten juga penting, agar setidaknya membuat tayangan yang juga membuat penonton tergugah untuk bekerja keras, disiplin, dan jujur. Misalnya dengan menceritakan kisah mereka sebelum sukses. Kita juga sebagai penonton dapat memilih film atau konten yang berkualitas, yang memacu kita untuk selalu berpikiran positif dan berusaha dalam mencapai apa yang kita idam-idamkan.

            Pengawasan secara konsisten dari masyarakat dan pemerintah juga diperlukan, sehingga tontonan menjadi tetap berkualitas dan bermanfaat. Siapa lagi yang akan menjaga mental dan moral kita, kalau bukan kita bersama.

Keterangan:

Artikel ini sudah terbit di Kompas.com tanggal 23 Juni 2021

Tentang rianasahrani

I'm a psychology lecturer, focus on wisdom, self-reflection, live experiences, positive psychology.
Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar