Enough, ‘Gloomy Sunday’!

Lagu berjudul ‘Gloomy Sunday’ pernah dipercaya sebagai lagu untuk pengantar bunuh diri. Mengapa demikian? Karena pada masa lagu itu diciptakan (tahun 1933 di negara Hungaria) dan populer (apalagi setelah dibahasa Inggris-kan ditahun 1941), banyak orang yang cenderung memikirkan bunuh diri – setelah mendengarkan lagu tersebut.

            Tentunya hal ini perlu kita kaji dengan dasar yang kuat. Pertama, lagu ini diciptakan pada tahun 1933, yang tentunya menjelang masa Perang Dunia II ditahun 1939. Orang pada saat itu saya perkirakan sedang banyak yang mengalami tekanan atau stres akibat dampak dari kekacauan disemua belahan dunia kala itu. Kehidupan ekonomi dan sosial tentunya juga sangat sulit, sehingga beberapa orang berpikiran untuk mengakhiri hidupnya daripada menderita.

            Kedua, ada beberapa orang yang memang mempunyai stabilitas emosi dan juga kepribadian yang cenderung kurang kuat. Mereka sangat menghayati apapun yang terjadi dalam diri dan hidup mereka, terutama dengan adanya ‘kesengsaraan’ dalam hidup. Kondisi ini seperti menjadi legitimasi bagi mereka bahwa sah-sah saja untuk memikirkan tentang bunuh diri.

            Apabila kita meminjam istilah dalam penelitian secara ilmiah, maka terdapat  independent, moderator, dan dependent variable. Bila kita mengandaikan bahwa tekanan mental/stres/depresi adalah independent variable (variabel bebas). Lagu-lagu melankolis yang terlalu dihayati (seakan mewakili diri dan kondisi yang terjadi pada kita) dapat dianggap sebagai moderator variable,  sedangkan dependent variable (variabel tergantung) adalah percobaan bunuh diri. Jadi dapat saja lagu-lagu melankolis ini sebagai moderator yang memperkuat keinginan atau pikiran tentang percobaan bunuh diri pada orang-orang tertentu. Namun, tidak selalu demikian, karena ada juga orang yang mencoba bunuh diri, tanpa ada perantara mendengarkan lagu-lagu tertentu terlebih dahulu.

            Kalau variabel moderator berupa lagu melankolis ini sifatnya memperkuat (pada orang-orang tertentu), maka untuk mengatasi pemikiran bunuh diri maka kita harus mencari moderator lain yang akan memperlemah pemikiran negatif ini. Sebagai contoh, ketika seorang remaja merasa sangat sedih karena putus cinta, maka sebaiknya ia membaca buku-buku yang memotivasi diri agar segera bangkit dari kesedihan. Begitu juga dengan hal ini, hendaknya setiap orang dapat mencari dan menemukan variabel moderator apa yang dapat memperkuat hal-hal positif dalam dirinya, serta membantunya dalam mengatasi masalah.

            Ada orang yang mungkin saja membutuhkan orang lain yang mendukung apabila ia ingin menceritakan permasalahannya. Bukan untuk mencari solusi, akan tetapi sekedar mencurahkan isi hati dan kemudian mendapatkan insight dari permasalahannya tersebut. Selain itu, beberapa orang membutuhkan refreshing agar dapat mengisi daya pikirnya kembali agar lebih segar dalam memikirkan solusi permasalahan yang dihadapinya. Mungkin apabila kita menyukai music, maka kita dapat mendengarkan lagu-lagu yang menginspirasi, misalnya lagu yang ceria, sehingga dapat sekedar mengurangi beban pikiran kita.

            Namun menurut saya, kita perlu ‘step back and then go forward’, jadi mundur sebentar (mungkin 1 atau 2 hari) untuk tidak memikirkan semua yang menjadi beban pikiran kita, dan setelah itu maju kembali untuk mencari solusi permasalahan. Ada kalanya kita mendapatkan nasehat, bahwa semua masalah akan hilang sejalan dengan waktu atau waktu yang akan menyembuhkan. Iya kalau hilang, iya kalau sembuh, kalau tidak? Apakah kita mau  menanggung resiko berpenyakit tahunan yang tidak kunjung sembuh dan tidak ada obatnya? Maka, mari kita teriakan bersama: “That’s enough, gloomy Sunday”.

Pesan moral:

Janganlah kita hanya berani mati, tapi beranilah hidup! Apabila anda merasa mempunyai pemikiran negatif, terutama mengenai bunuh diri, segeralah hubungi orang yang professional dalam bidang ini. Psikolog, psikiater, keluarga, sahabat, atau siapapun orang yang anda anggap dapat menolong diri anda.

Tentang rianasahrani

I'm a psychology lecturer, focus on wisdom, self-reflection, live experiences, positive psychology.
Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar