Self-Reflection: Sarana kritisasi diri warganet

Orang sekarang sedang ‘tenggelam’ dalam kemajuan teknologi gawai dan daring. Semua ingin membuka diri terhadap kemajuan tersebut. Dibalik era teknologi canggih ini, muncul beberapa permasalahan di masyarakat, salah satunya mengenai disinhibisi daring. Dengan minimnya daya saring yang ada, membuat orang dapat dengan bebas mengekspresikan diri. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Suler (2004) bahwa ada permasalahan khusus dalam masyarakat internet, yaitu online disinhibition effect. Sewaktu di dunia ‘maya’, orang merasa tidak ada pembatas apapun yang dapat menghalanginya, baik dalam berekspresi maupun mengutarakan pendapatnya. Walau kemungkinan besar hal tersebut tidak ia lakukan selagi di dunia nyata. Orang merasa tidak dibatasi dengan hal apapun, bisa jadi ia bersikap anonim sehingga tidak dapat diketahui siapapun, tidak terlihat, berimajinasi, dan minimnya tata aturan yang dinaungi hukum. Maka orang merasa bebas mengemukakan pendapatnya, dari berbagai segi, baik yang sifatnya mengembangkan orang lain atau justru menjatuhkan orang lain.

Kesan atau budaya orang Indonesia yang dulunya dikenal sebagai orang yang mengutamakan sopan-santun dan kerjasama seperti memudar, terutama di kota-kota besar. Orang menggunakan fasilitas internet, dalam hal ini disebut warganet, menjadi merasa bebas dan ‘harus’ mengekspresikan diri dengan membuat komentar di situs media sosial, yang bisa saja sifatnya mengecam orang lain atau sekelompok orang. Kondisi ini tentu saja bukan suatu hal yang sehat, terutama bagi kita orang Indonesia dalam berbangsa. Kondisi ini mengancam persatuan dan kesatuan Indonesia, yang sudah lama dibangun dengan dasar negara Pancasila. Bagaimana hal ini perlu dicermati oleh kita semua sebagai masyarakat Indonesia? Apakah kondisi di atas menunjukkan bahwa semakin menipisnya ‘kesadaran’ kita dalam berperilaku di lingkungan?

Kesadaran atau consciousness membuat orang menjadi menyadari atau merasakan apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya (Baars & Mcgovern dalam Solso, Maclin, & Maclin, 2008). Orang menjadi aware (sadar) apa yang sedang  terjadi, apa yang dihadapi, dan bagaimana menyikapinya. Apalagi salah satu fungsi dari kesadaran adalah untuk pengambilan keputusan, serta self-monitoring (pemantauan atau evaluasi diri). Pemantauan atau evaluasi diri dikenal juga sebagai self-reflection (refleksi diri). Refleksi adalah aktivitas yang melibatkan aspek kognitif dan afektif, yang memungkinkan individu untuk mengevaluasi pengalaman hidupnya (Boud, Keogh, & Walker, 1985).

            Kegiatan refleksi itu sendiri bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Refleksi diri membutuhkan waktu dan melibatkan proses panjang di dalamnya. Orang harus melakukan refleksi secara benar dan intensif, sebelum merasakan manfaatnya. Penulis mencermati bahwa di zaman yang serba instan ini orang lebih memilih semua hal yang instan. Kita tidak perlu pergi keluar rumah saat ini untuk bisa menikmati makanan restoran misalnya, karena kita bisa memesannya lewat aplikasi tertentu. Begitu juga bila kita ingin bepergian, kita tingga memesan transportasi secara online. Kondisi instan ini juga terbawa dalam sikap dan kebiasaan kita sehari-hari. Orang cenderung mengeluarkan komentar yang sifatnya ‘instan’ juga. Orang kurang atau justru tidak memikirkan apa dan bagaimana dampak dari komentar yang ia berikan.

            Fenomena ini juga berimbas pada semua hubungan, baik yang ‘maya’ maupun nyata. Apabila di dunia maya terbiasa untuk berkomentar secara instan dan negatif, maka di dunia nyata terkadang orang menjadi tidak dapat mengontrol dirinya dan berbicara secara langsung hal-hal yang bisa menimbulkan perpecahan. Kondisi ini tentu saja berbahaya bagi kita semua. Maka menurut penulis, ada baiknya kita berusaha mengurangi atau bahkan menghilangkan sikap dan kebiasaan buruk tersebut, terutama pada anak-anak dan para remaja Indonesia yang masih punya banyak waktu untuk berkembang dan mengembangkan diri mereka ke arah yang lebih positif. Salah satu cara yang penulis tawarkan adalah: self-reflection atau refleksi diri, sebagai sebuah saran kritisasi diri, terutama bagi warganet atau para pengguna internet. 

Selain sebagai sarana kritisasi diri, refleksi diri juga merupakan salah satu sarana untuk mencapai wisdom (kebijaksanaan) dalam diri seseorang (Sahrani, Matindas, Takwin, & Mansoer, 2014). Boud et al. mengartikan refleksi diartikan sebagai “… those intellectual and affective activities in which individuals engage to explore their experiences in order to lead to new understandings and appreciations” (1985, p. 19). Dengan kata lain, refleksi adalah suatu aktivitas yang melibatkan aspek kognitif dan afektif, yang memungkinkan individu untuk mengkaji ulang pengalaman hidupnya, guna mendapatkan pemahaman baru yang lebih baik. Dalam hal ini ada proses belajar, yaitu mengubah pengalaman hidup menjadi pembelajaran, yaitu mengubah pengalaman dalam rangka mempelajari hal baru dari pengalaman tersebut (Boud et al., 1985; Boud & Walker, 1998). Pembelajaran ini juga merupakan suatu proses pengayaan pemahaman terhadap suatu kejadian (Norton, Owens, & Clark, 2004), sehingga orang dapat mengevaluasi situasi baru dan berespon sesuai (Harris, 2012). Jadi dapat disimpulkan dari pandangan beberapa tokoh di atas, bahwa refleksi adalah suatu proses yang melibatkan aspek kognitif, afektif, dan konatif. Hal ini karena dalam proses refleksi, seorang individu mencoba mengubah pemahamannya dengan cara menganalisa peristiwa yang terjadi, mencoba memahami perasaan atau emosi yang muncul, dan kemudian mengaplikasikan hasilnya dalam bentuk tindakan selanjutnya di masa yang akan datang.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

let’s do reflection

Refleksi terhadap pengalaman hidup yang sulit atau sifatnya traumatis biasanya cenderung dihindari individu. Padahal kalau kita melakukan refleksi dengan strategi yang “benar” maka hal ini justru akan membuat “pencerahan” dan menimbulkan insight dalam diri kita, untuk melakukan hal baik selanjutnya. 

Strategi refleksi terbagi menjadi 2 macam, yaitu: self-distanced dan self-immerse.

Self-distanced adalah memikirkan kembali peristiwa yang terjadi, dari sudut pandang orang ketiga, seakan-akan kita sedang mengobservasi diri kita sendiri dari jarak pandang tertentu.

Self-immersed adalahmemikirkan kejadian sulit di masa lalu secara rinci, dengan merasakan kembali emosi yang ada, seakan-akan mengalami kejadian tersebut lagi.

Orang yang menganalisa perasaannya dengan cara self-distanced mengatakan bahwa stresnya berkurang, daripada orang yang memakai cara self-immersed.

Sebagai gambaran, akan diuraikan contoh dari masing-masing hasil dari strategi refleksi tersebut (Kross & Ayduk, 2011, p. 188):

Self-distanced: “I thought of the days and months running up to the conflict and was reminded of the academic stress and emotional turmoil I was going through combined with a lack of satisfaction with things in general. All these underlyning currents and frustration led me to be irritable and thus sparked the conflict over a silly argument …”

Self-immersed: “I was appaled that my boyfriend told me he couldn’t connect with me because he thought I was going to hell. I cried and sat on the floor of may dorm hall-way and tried to prove to him that mythat my religion was the same as his …

Jadi mulai sekarang, mari kita berefleksi secaraself-distanced ya teman 😀 

Catatan:

Artikel ini telah terbit di web: riana.my.id, pada tanggal 10 Mei 2017.

Link: http://riana.my.id/

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Kebijaksanaan versi Indonesia

Seperti apa ya orang yang bijaksana dalam pandangan orang Indonesia?

Ada 5 karakteristik orang yang bijaksana versi orang Indonesia (Basri, 2001), yaitu:

(a) memiliki kondisi spiritual-moral yang baik (bertakwa, religius/beriman, saleh, tawakal, sederhana/bersahaja kehidupannya, tutur kata halus/lemah lembut/sopan santun, tabah, dan tegas)

(b) Mampu berinteraksi dengan orang lain (murah hati, mau berkorban, penyayang pada semua, tulus ikhlas, mengayomi/melindungi, pemaaf, penuh pengertian)

(c) mempunyai kemampuan menilai dan mengambil keputusan (meninjau permasalahan dari berbagai sudut pandang, lebih memperhatikan kepentingan orang banyak daripada kepentingan pribadi, mampu memutuskan secara tepat, filosofis/berpandangan menyeluruh terhadap kehidupan, adil)

(d) memiliki kondisi personal yang baik (mawas diri, bertanggungjawab, konsekuen, percaya diri)

(e) memiliki  kemampuan khusus/istimewa (cerdas/kompeten, intuitif, berpengetahuan dan berwawasan luas,
berempati).

Ternyata tidak mudah ya menjadi orang yang bijaksana  tapi semua mungkin saja terjadi ya teman 😀

Catatan:

Artikel ini telah terbit di web: riana.my.id, pada tanggal 10 Juni 2017.

Link: http://riana.my.id/

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

experience is the best teacher

Pengalaman adalah guru terbaik. Itu yang sering kita dengar dari pepatah, orang tua, atau pun para ‘senior’ kita. Namun, betulkah demikian?

Hampir dapat dipastikan bahwa, sebagian besar manusia di dunia ini pernah merasakan pengalaman hidup yang sulit. Permasalahan yang pernah kita alami tidak selalu sama dengan orang lain, bahkan seringkali sangat berbeda, unik, spesial, hanya kita yang merasakan.

Akan tetapi, benarkah kita dapat menggunakan pengalaman kita tersebut itu sebagai guru terbaik kita?

Seperti yang sudah saya kemukakan di artikel sebelumnya, bahwa ada pengalaman atau permasalahan yang sifatnya non normatif … jadi pengalaman kita itu unik, hanya milik kita. Selanjutnya, saya kemukakan juga bahwa remaja sebetulnya punya potensi untuk menjadi bijaksana, salah satunya dengan berusaha mendapatkan pengetahuan dan fakta dalam kehidupan. Hal ini dapat kita peroleh dari pengalaman hidup.

Akan tetapi sayangnya, pengalaman kita yang unik tadi tidak selalu menjadi guru terbaik, yang dapat menambah pengetahuan kita mengenai kehidupan. Bahkan, ada orang yang justru tidak ingin lagi mengingat pengalaman ‘pahit’-nya, karena menimbulkan sakit hati dan perasaan sedih berkepanjangan.

Pengalaman berharga tadi baru akan menjadi hal yang bermanfaat, apabila kita mampu merefleksikannya dengan cara yang positif.

Jadi dengan melakukan refleksi, kita akan berusaha memikirkan, menganalisa, dan memahami tindakan atau peristiwa yang terjadi pada diri kita. Apabila refleksi berhasil, maka kita pun akan mendapatkan insight dan belajar dari pengalaman hidup, sehingga dapat mengembangkan diri menjadi lebih baik. Aamiin.

Catatan:

Artikel ini telah terbit di web: riana.my.id, pada tanggal 30 April 2017.

Link: http://riana.my.id/

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

yang muda, yang bijaksana

Apa mungkin ya remaja bisa bijaksana?

Bapak Erikson pada tahun 1959 (dalam Baltes & Staudinger, 2000) mengemukakan bahwa, orang lanjut usia (lansia) berpotensi bijaksana. Hal ini karena lansia sudah lebih banyak “makan asam-garam” kehidupan, sehingga punya pengalaman yang lebih banyak dan pengetahuan yang lebih luas.

Untungnya, hasil penelitian selanjutnya membuktikan bahwa, remajapun bisa bijaksana loh (Pasupathi, Staudinger & Baltes, 2001). Para peneliti ini menemukan bahwa remaja sebetulnya mampu memenuhi kriteria basic level wisdom, yaitu: factual dan procedural knowledge of life.

Factual knowledge of life artinya: remaja yang berpotensi bijaksana, mempunyai pengetahuan dasar dan fakta-fakta dalam kehidupan. Sebagai contoh, ia punya pengetahuan dasar mengenai apa saja karakeristik yang sering muncul pada tahapan usia tertentu, misalnya saja usia remaja. Ia paham bahwa remaja itu masanya mencari identitas dan umumnya masih membutuhkan perhatian. Maka dari itu, remaja senang berkelompok dengan peer group-nya (teman sepermainan).

Selanjutnya, kalau procedural knowledge of life adalah: pengetahuan dan strategi dasar dalam mengatasi masalah. Misalnya, ada remaja mengalami stres karena nilai ujiannya kurang bagus. Nah, apabila ia berpotensi menjadi remaja bijaksana, seharusnya ia mampu mencari jalan keluar dari masalah tersebut. Misalnya, dengan membuat perencanaan belajar yang lebih baik, bertanya pada senior, bertanya pada guru atau dosen mengenai hal yang kurang ia kuasai, dan sebagainya.

Jadi, ternyata bukan hal yang mustahil kan bagi remaja dan orang muda untuk menjadi orang yang bijaksana. Tinggal persoalannya adalah: “Mau ga sih jadi bijaksana?”

Sumber bacaan:

Baltes, P. B., & Staudinger, U. M. (2000). Wisdom: A metaheuristic (pragmatic) to orchestrate mind and virtue toward excellence. American Psychologist, 55, 122-135.

Pasupathi, M., Staudinger, U. M., & Baltes, P. B. (2001). Seed of wisdom: Adolescents’ knowledge and judgment about difficult life problems. Developmental Psychology, 37, 351-361.

Catatan:

Artikel ini telah terbit di web: riana.my.id, pada tanggal 27 April 2017.

Link: http://riana.my.id/

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

wisdom: what for?

Di zaman era digital yang serba canggih ini, semua hal bisa kita cari informasinya di “mbah” Google … mulai dari tanya apa resep sayur asem, sampai cara mengatasi putus cinta. Jadi apa masih perlu bicara soal wisdom?

Hidup ini ibarat roda berputar, kadang naik … kadang turun … Nah, kita tidak pernah tahu kapan kita akan di posisi “turun” atau di bawah. Kondisi turun itu tidak selalu dalam hal materi, bisa dalam hal apa saja, misalnya emosi. Sebagai contoh, masalah “berat” menimpa kita, terus kita mau bertanya pada Google … eee … kebetulan listrik mati, internet mati, hape rusak  apa ga tambah stres …

Dalam psikologi, pengalaman hidup kita dibagi menjadi beberapa kategori. Ada pengalaman yang sifatnya normatif dan ada yang non normatif. Pengalaman normatif, dialami oleh hampir semua orang yang mempunyai usia setara. Misalnya, di usia remaja umumnya sedang mencari identitas, senang berkelompok dengan peer group-nya, sedang sekolah atau kuliah, dan sebagainya.

Nah, kalau pengalaman non normatif itu sifatnya khas, unik, hanya dimiliki individu tertentu. Misalnya, ada seorang remaja yang tiba-tiba mengalami musibah tertentu (misalnya kecelakaan, terkena penyakit, orang tua bercerai, putus pacaran, putus sekolah, dan sebagainya), sehingga ia pun menjadi punya pengalaman berbeda dengan remaja pada umumnya. Maka, dalam kondisi non normatif inilah wisdom sangat diperlukan 

Wisdom (kebijaksanaan/kearifan) itu -setelah saya rangkum dari berbagai sumber- merupakan suatu kemampuan individu dalam mengintegrasikan pikiran, perasaan, dan perilakunya, untuk kemaslahatan bersama dan lingkungan. Jadi orang yang wise itu mempunyai pengetahuan yang luas, kepribadian yang baik, serta akan berusaha mengatasi suatu permasalahan (baik masalahnya sendiri maupun orang lain).

Penelitian saya mengenai wisdom tahun 2014, menghasilkan temuan bahwa refleksi (evaluasi diri) adalah salah satu cara yang efektif untuk menjadi orang yang wise. Di tulisan saya selanjutnya akan kita diskusikan lagi ya mengenai hal ini. Terimakasih teman-teman semua 

 Sumber:

Sahrani, R. (2014). Peranan refleksi, strategi refleksi, kesulitan hidup, dan usia terhadap kebijaksanaan. Disertasi, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.

Catatan:

Artikel ini telah terbit di web: riana.my.id, pada tanggal 23 April 2017.

Link: http://riana.my.id/

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

blessing in disguise

Alasan saya membuat blog wisdomworld ini sebenarnya bukan sekonyong-konyong atau tiba-tiba. Saya pernah juga membuat blog tentang wisdom di WordPress, sekitar beberapa tahun lalu. Cuma waktu itu terhenti karena tiba-tiba pikiran saya “nge-blog”… hehe … apalagi ya yang mau ditulis?

Kebetulan sekali, saya harus memberikan tugas pada para mahasiswa tentang penerapan teknologi. Kebetulan lagi, PANDI memberikan kesempatan pada saya untuk mewujudkannya … Alhamdulillah. Jadi memang benar sekali, usaha itu perlu didukung juga oleh kesempatan.  Terimakasih banyak PANDI 

Saya berusaha menerapkan suatu teori atau apapun yang saya pikirkan, pada diri saya sendiri dulu. Jadilah blog wisdomworld ini  Selain itu, kalau kita memikirkan suatu hal yang kita inginkan, lalu kita berusaha sekeras mungkin untuk mewujudkannya, maka: “alam semesta akan mendukung”. Kalimat tadi sering diucapkan kolega saya sesama dosen, yaitu Bapak Putu Tommy Yudha Sumatera Suyasa … hehe … Konsep psikologi yang dapat menjelaskan adalah “self-fulfilling prophecy”, yang dikemukakan oleh Merton tahun 1957. Singkatnya adalah: “apa yang kita pikirkan, itulah yang akan kita dapatkan”. Jadi, saya patut bersyukur dengan adanya tugas ini … karena saya pun jadi belajar kembali mengenai psikologi. Hal ini merupakan “blessing in disguise”, karena semua hal pasti ada hikmahnya. Saat ini kemungkinan di antara para mahasiswa saya ada yang kurang nyaman dengan tugas ini, namun saya berharap bahwa di suatu hari nanti tugas ini memberikan manfaat. Aamiin. Terimakasih anak-anakku semua, kalian juga merupakan inspirasi saya 

Catatan:

Artikel ini telah terbit di web: riana.my.id, pada tanggal 21 April 2017.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

awal ketertarikan pada psikologi

Ketertarikan saya pada psikologi bermula pada saat saya di SMA (tahun 1985-1987). Pada saat itu saya senang sekali membaca, terutama koran KOMPAS. Saya membaca rubrik Psikologi yang ada setiap hari Minggu. Pengelola rubrik tersebut pada waktu itu adalah almarhum Bapak M.A.W. Brouwer, seorang psikolog berdarah Belanda. Beliau sangat pandai dalam menganalisa dan menjawab permasalahan yang ditulis para pembacanya. Jawabannya selalu tegas dan lugas, tanpa banyak basa-basi. Itulah yang saya suka dari beliau, sikap tegas dan apa adanya, tidak berusaha untuk membuat orang lain senang apalagi memberikan harapan palsu. Pembaca diajak untuk memikirkan masalahnya sendiri dan berusaha menjawab sendiri   Terkadang saya juga bingung, sebenarnya apa yang dijawab ya… maklum waktu itu saya belum belajar psikologi, hanya terkagum-kagum saja dengan kepandaian Pak Brouwer…

Kalau saya pikir-pikir kembali, sepertinya saya memilih psikologi waktu S1 dulu dengan dasar yang kurang jelas. Kalau saya kaitkan dengan teori James Marcia mengenai teori identitas, saya masuk dalam kategori foreclosure. Jadi saya tidak merasakan adanya krisis, namun saya berkomitmen untuk belajar psikologi. Untungnya walau dengan alasan masuk psikologi yang kurang kuat tadi, saya akhirnya bisa lulus juga …walau penuh dengan perjuangan 

Setelah saya masuk S1 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, saya pun menemukan orang yang mirip dengan karakter Bapak Brouwer tadi. Saya pikir almarhum Bapak Sarlito Wirawan Sarwono, tokoh Psikologi Indonesia, hampir sama … beliau juga sangat cerdas, rajin menulis buku, kalau bicara “blak-blakan”, dan pernah juga menjadi pengelola rubrik psikologi di KOMPAS. Selain itu, ada Bapak Rudolf Woodrow (Budi) Matindas, yang sepertinya keturunan Belanda juga. Beliau juga smart, kalau bicara to the point, dan penampilannya “cool”, idola para mahasiswa …hehe… Akhirnya, saya bertemu juga dengan para idola saya… walau dengan nama dan orang yang berbeda   Alhamdulillah …

Jadi, kalau saya merefleksikan apa yang sudah saya lalui tadi, saya mendapatkan insight bahwa: kita bisa saja mendapatkan inspirasi dari apa saja, dari hal kecil sekalipun. Selain itu, jangan meremehkan kekuatan inspirasi tadi, ternyata hal kecil juga mampu menggerakkan seseorang menjadi sesuatu. Bisa jadi kita mampu menginspirasi orang lain… Aamiin. Jadi, be wise ya 

Catatan;

Artikel ini sudah terbit di web: riana.my.id, pada tanggal 20 April 2017.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Reflection: What are its benefits for education?

            Presently, education in Indonesia is facing some challenges, some of which indicate the involvement of parents and teachers in negative treatments towards children and students, such as violence or sexual abuse (Kompas, page 1, 2 June 2014). Moreover, amongst adolescents, there are various cases of violence, murder, and even suicides (Vivanews, page 1, 2 December 2009). In fact, one factor to determine someone’s ability in problem solving and decision making is by how that person doing a reflection in life.

The term of reflection is considered familiar in our daily life. When someone ran into a problem, an advice would be given: “Have you done a reflection?” Reflection is often understood by common people as a form of evaluation of our past actions. For instance, someone who just broke up from a romantic relationship would try to evaluate or reflect on preceding things that possibly made the relationship ended. In another case, a student who is held back a year will also asked by the parents and teachers to reflect on his/her actions. Accordingly, what does reflection actually mean? What are the benefits of reflection for current education?

In the next part, we will discuss about reflection from the perspective of Psychology. Dewey was a notable person who introduced the theory of reflection in 1910 (Boud, Keogh, & Walker, 1985). He compiled some perspectives from prior figures, such as Plato, Aristoteles, Confucius, Lao Tzu, and Solomon. Dewey expressed that principally people are eager to understand something unclear (doubtful, uncertain) so that it can be more apparent, which he called as the process of reflective transformation. Dewey concluded that in this process of reflection, there were three major things involved, which were open-mindedness, responsibility, and whole heartedness (Houston, 1988). On the other side, Rodgers (2012) summarized Dewey’s thoughts into four criteria that were (1) Reflection is a process of meaning formulation that makes an individual learn from one experience to another, with a better understanding; (2) Reflection is a way of thinking that is systematic, thorough, structured, and scientific; (3) Reflection needs a container in a form of individual experience with others and society; (4) Reflection needs individual attitudes that prioritize personal and intellectual growth for itself and others.

The concept of reflection emerged due to some researchers, such as Dewey and Kolb (Harris, 2012), who were certain that learning was not automatically surfaced from experience. Thus, doing a reflection on a particular experience is a main aspect to learn from experience. A complex or extraordinary experience, a questionable aspect from an experience, and a will to communicate with ourselves or other people can trigger reflection (Schon, 1987). Another well-known figure of reflection, Boud (Boud et al., 1985), expressed the theory of reflection on learning. He uttered that there were three steps in the reflection process, which were: returning to the experience, attending to feelings, and reevaluating the experience.

Mc Drury & Alterio (2001) compiled from some researchers that reflection consisted of three steps that are inner discomfort, process of critical analysis of feelings and knowledge, and emergence of a new perspective of the situation. In the first phase, the reflection process was started from inner discomfort (thoughts and feeling that surfaced due to a mismatch between the known/recognized things and things that happened in particular situation). The second phase, the process of critical analysis of feelings and knowledge, is an analysis of a problem to get a new knowledge. Lastly, the emergence of a new perspective of a situation is a transformation or perspective changing by a sudden enlightenment or by thinking different perspectives that enable an individual to form new standpoints.

Therefore, reflection is an activity that involves cognitive and affective aspects that allow an individual to reassess their life experience (Boud et al., 1985), which leads to the arousal of sensitivity and enlightenment within the self to get a new and better understanding (Ardelt, 2004a). There is a learning process in the process of reflection that changes life experience to learning process, which creates self- awareness and self-insight (Ardelt, 2003, Csikszentmihalyi & Rathunde, 1990; Kekes, 1983; Kramer, 1990). Reflection towards life experience is assumed as a basic motivation to think deeply about something related to ourselves and others. By doing so, an individual will be more careful in speaking, doing, or decision making (Bluck & Gluck, 2005).

Furthermore, reflection can make an individual accepts reality in life and gets a better understanding regarding self condition and others’ condition, and supports individual learning process (self-study) (McDrury & Alterio, 2001) so that the life quality is increased (Ardelt, 2004; Csikszentmihalyi & Rathunde, 1990; Kekes, 1995). Staudinger (2001) added that life reflection is very advantageous because by evaluating past experiences into conscience, an individual learns and gets insight from life challenges. Reflection also will take us to a new way or to create a new situation in our life, and let us understand the meaning of life. Hence, by summarizing all researches that have been conducted above, reflection in Psychology may be defined as: an individual effort to get a better understanding of meaning behind his/her life experience. By doing so, he or she will get an enlightenment and will be able to give a better respond to future problems (Sahrani, 2014).

In fact, doing a reflection in the reality is not as easy as imagined. Some results of studies about reflection showed that reflection activity tends to be avoided by individuals because it may create negative feelings (Ayduk & Kross, 2010a, 2010b; Kross, 2007; Kross & Ayduk, 2011). In general, most of us tend to avoid reflection due to the fact that we will feel more “ill” when remembering bitter past events. Reflection should be done effectively, so that an individual can learn through the changing of meaning and individual perspectives towards a problem (Boud et al., 1985).

Reflection may be implemented by various ways or strategies. However, according to some researchers who have done some latest studies regarding reflection, the reflection of life difficulties usually creates continuous negative feelings to the doer (rumination) (Ayduk & Kross, 2010a, 2010b; Kross & Ayduk, 2011; Kross, Duckworth, Ayduk, Tsukayama, & Mischel, 2011). This condition is caused by people who tend to be immersed in thinking about past difficult time, feeling the emotion as if they are re-experiencing the events (self-immersed). In fact, to make an adaptive reflection process, we should choose self-distanced. Self-distanced is rethinking about past events from the third-person point of view as if we are observing ourselves from a particular distance (Ayduk & Kross, 2010a, 2010b; Kross et al., 2011; Verduyn, Mechelen, Kross, Chezzi, & Bever, 2012).

The following table shows the comparison between two reflection strategies that has been mentioned earlier:

Table 1.

Reflection Strategy                                                                                                     Reflection Strategy
No.AspectSelf-immersedSelf-distanced
1Kinds of experienceLife difficulties in the pastLife difficulties in the past and present (happening now)
2FocusOn hurt feelings and anger (on the emotion that is felt)Trying to understand/analyze the existing feelings
3ReactionNot spontaneous (time is planned)Spontaneous (already become habits)
4Basic principalRecounting recallReconstruing (interpret)  analyze
5Ways to deliverUsually through stories (verbal)Verbally or written
6ConditionThe doer as the object, first- person, who is as if re-experiencing the eventsimagine each event in details and feel all the emotions that surfaceThe doer as the observer, the third-person who is as if watching the events from a particular distance.
7ResultIf successful, it will make an individual healthy physically and mentally. However, if it is not successful, it will make an individual continuously thinking about misfortune, blaming others, and having a constant negative thinking and feeling( ruminate).So far, the experiment methods is successful in this research, so that participants feel that they receive an insight/enlightenment and understanding, resolution without negative feelings Attitude of problem solving, capability of overcoming conflict, more patient

People who analyzed their feelings through self-distanced method reported to have a lower pressure compared to those who applied self-immersed. To illustrate, there are some examples from each result of reflection strategies mentioned (Kross & Ayduk, 2011, p. 188):

Self-immersed: “I was appaled that my boyfriend told me he couldn’t connect with me because he thought I was going to hell. I cried and sat on the floor of may dorm hall-way and tried to prove to him that my religion was the same as his …

Self-distanced: “I thought of the days and months running up to the conflict and was reminded of the academic stress and emotional turmoil I was going through combined with a lack of satisfaction with things in general. All these underlying currents and frustration led me to be irritable and thus sparked the conflict over a silly argument …

The first example shows that an individual who did the self-immersed reflection strategy felt that she experienced a misfortune after she broke up with her boyfriend. By doing a reflection, she became sadder and down. On the contrary, the second example shows that the person who used self-distance strategy felt more prosperous because she could positively analyze what has happened to herself.

Therefore, an individual who uses self-distanced method does not focus on repeating existing experience. On the other hand, the person focuses on how to interpret using a way that creates insight and closure. This condition also lower the stress level and encourage the individual to think more positively (Kross & Ayduk, 2011). Nevertheless, how people focus on their feelings while doing self-distanced method becomes an important matter. This is due to the fact that when someone is doing a self-distanced and avoiding their feelings to be able to ‘escape’ from problems, this method will be less successful (Kross, Ayduk, & Mischel, 2005).

It can be concluded that the more successful strategy to reflect life difficulties is the self-distanced strategy. By applying this strategy, an individual can think clearer and not affected by negative emotions. Thus, the purpose of reflection, which is to get a better understanding and a lesson from an event so that the individual can continuously improve itself, will be achieved more easily.

Sahrani (2014) has conducted a research regarding the relationship between reflection and an individual’s wisdom. The result shows that someone has a higher chance to be a wise person if she/he reflects on her/his difficult experiences in life. A wise person does more and frequent reflection compared to less wise ones. A wise person does a reflection in line with age. The older an individual is, the more reflection that person does. Conversely, when getting older, a less wise individual will do less reflection of life experience.

Besides, a wise person implements a self-distanced strategy that will create a positive feeling and a feeling of acceptance towards itself (Sahrani, 2014). This process is along with the views of the previous figures who stated that in the process of reflection, an individual should put aside negative emotions (Kramer, 1990; Kunzmann & Baltes, 2003; Boud et al., 1985). This attitude is needed because in the reflection process, we need an ability to see phenomenon and events from different point of views, and to avoid subjectivity and projection (Ardelt, 2003). Reflection is an activity that is done by individuals to get a deep understanding and to evaluate itself from different standpoints (Ardelt, 2004; Csikszentmihalyi & Rathunde, 1990; Kekes, 1995). Moreover, reflection also causes self-awareness and self-insight (Ardelt, 2003, Csikszentmihalyi & Rathunde, 1990; Kekes, 1983; Kramer, 1990).

An unwise person will see reflection as something that should be avoided. They argue that we should not remember past events because it will create emotional feelings, sadness, and regrets particularly if we reflect on difficult life experiences that are usually ‘dark’ experiences for them (Sahrani, 2014). In fact, by doing reflection, it will make an individual does not overreact when facing an unpleasant situation and can understand the reality or ongoing situation (Ardelt, 2003). If in the end the unwise person reflects on himself/herself, the reflection strategy used is self-immersed that is especially applied by late adults. They question about who is wrong, tend to blame others, difficult to forgive, and do not want to be criticized and do self-changing, and do self justification by focusing on hurt feelings and anger.

In the next research, which is still being conducted, there is a temporary conclusion that says teachers who do reflection will have a higher emotional intelligence compared to those who do not (Primadani & Sahrani, 2015). Therefore, the relationship between reflection and education is very close. Reflection is very useful for education. All components in education, including parents at home, should implement reflection in the process of students learning every day. Moreover, there are more problems to face day by day, including challenges that students must encounter. For that reason, what can we do to implement reflection in our daily life?

Educators, especially parents and teachers, are better to give more attention to their kids/students. Parents and teachers may do a more often discussions regarding difficult problems, not only those happened in the past, but also possible future problems, regarding children. Both parents and teachers may try to teach a particular strategy to overcome children’s problems.

Parents and teachers can also share some classic stories or inspiring life experience of themselves or other people regarding wisdom. They are expected to be the role models for positive life values by giving examples and even doing reflection together with the children/students.

Meanwhile, the school may consider including a subject that consists of wisdom topic and self reflection in the school curriculum. By doing so, children will have a better emotional development and personality because they are guided at home by parents, and taught by teachers at schools. Therefore, a favorable environment will be created for children’s development both at home and school. As a result, it is hoped that children or students will be able to solve daily problems more.

References

Ardelt, M. (2003). Empirical assessment of a three-dimensional wisdom scale. Research on Aging, 25, 275–324.

Ardelt, M. (2004). Where can wisdom be found?. Human Development, 47, 304–307.

Ayduk, O., & Kross, E. (2010a). From a distance: Implications of spontaneous self-distancing for adaptive self-reflection. Journal of Personality and Social Psychology, 98(5), 809–829.

Ayduk, O., & Kross, E. (2010b). Analyzing negative experiences without ruminating: The role of self-distancing in enabling adaptive self-reflection. Social and Personality Compass, 4(10), 841–854.

Bluck, S., & Gluck, J. (2005). From the inside out: People’s implicit theories of wisdom. In R. J. Sternberg & J. Jordan (Eds.), A handbook of wisdom: Psychological perspectives (pp. 84–109). Cambridge, England: Cambridge University Press.

Boud, D., Keogh, R., & Walker, D. (1985). Reflection: Turning experience into learning. New York, NY: Nichols.

Csikszentmihalyi, M., & Rathunde, K. (1990). The psychology of wisdom: An evolutionary interpretation. In R. J. Sternberg (Ed.), Wisdom: Its nature, origins, and development (pp. 25-51). New York: Cambridge University Press.

Harris, N. S. (2012). The impact of action learning experience on reflective practice (Doctoral dissertation). Retrieved from ProQuest Dissertations & Theses database. (UMI No. 3523969)

Houston, W. (1988). Reflecting on reflection. In H. Waxman, H. Freiberg, J. Vaughn, & M. Weil (Eds.), Images of reflection in teacher education (pp. 7-95). Reston, VA: Association of Teacher Educators.

Kekes, J. (1983). Wisdom. American Philosophical Quarterly, 20, 277-286.

Kekes, J. (1995). Moral wisdom and good lives. Ithaca: Cornel Univesity.

Kompas (2014, 2 Juni). Kejahatan seksual di JIS. Topik Pilihan. Retrieved from http://www.Kompas.com

Kramer, D. A. (1990). Conceptualizing wisdom: The primacy of affect-cognition relations. In R. J. Sternberg (Ed.), Wisdom: Its nature, origins, and development (pp. 279-316). Cambridge, England: Cambridge University Press.

Kross, E. F. (2007). Enabling adaptive “working through” of negative emotions: Short-term and long-term outcomes distinguishing reflective processing from rumination and distraction (Doctoral dissertation). Retrieved from ProQuest Dissertations & Theses database. (UMI No. 3266619)

Kross, E., & Ayduk, O. (2011). Making meaning out of negative experiences by self-distancing. Current directions in psychological science, 20(3), 187-191.

Kross, E., Ayduk, O., & Mischel, W. (2005). When asking “why” doesn’t hurt: Distinguishing reflective processing of negative emotions from rumination. Psychological Science, 16, 709–715.

Kross, E., Duckworth, A., Ayduk, O., Tsukayama, E., & Mischel, W. (2011). The effect of self-distancing on adaptive versus maladaptive self-reflection in children. Emotion, 11, 1-8.

Kunzmann, U., & Baltes, P. B. (2003). Wisdom-related knowledge: Affective, motivational, and interpersonal correlates. Personality and Social Psychology Bulletin, 29, 1104–1119.

McDrury, J., & Alterio, M. G. (2001). Achieving reflective learning using storytelling pathways. Innovations in Education and Training International, 38(1), 63–73.

Rodgers, J. E. (2012). A qualitative study of the post-lesson reflective practices of pre-service health education teachers at four institutions of higher education (Doctoral dissertation). Retrieved from ProQuest Dissertations & Theses database. (UMI No. 3543934)

Sahrani, R. (2014). Peranan refleksi, strategi refleksi, kesulitan hidup, dan usia terhadap kebijaksanaan. Disertasi, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.

Schon, D. (1987). Educating the reflective practitioner. New York, NY: Teachers College Press.

Verduyn, P., Mechelen, I. V., Kross, E., Chezzi, C., & Bever, F. V. (2012). The relationship between self-distancing and the duration of negative and positive emotional experiences in daily life. Emotion, 12(6), 1248–1263.

Vivanews (2009, 2 Desember). Kasus bunuh diri di Indonesia. Nasional. Retrieved from http://www.Vivanews.co.id

Catatan:

Artikel ini telah terbit di Majalah T-MAGZ Universitas Tarumanagara, Volume 3/Tahun 2015.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Work from home: Saatnya menemukan minat dan bakat kita

Ketika Joanna Serenko sedang battle round dengan Roderick Chambers di the Voice 2020, menyanyikan lagu Billie Eilish ‘when the party’s over’, bulu kuduk saya merinding. Betapa tidak, mereka sangat kompak, penuh harmoni, dan sangat enak didengar. Serenko menyanyikan lagu tersebut penuh dengan penjiwaan, yang menggambarkan minat dan bakat menyanyi. Di sisi  lain, Chambers dengan pengalaman menyanyinya selama puluhan tahun, dapat bernyanyi dengan indah. Jadi yang mana yang lebih berpengaruh terhadap kesuksesan menyanyi mereka, minat-bakat atau pengalaman?

Minat-Bakat dan pengalaman, semuanya sangat menentukan dalam mencapai suatu hasil yang kita inginkan. Minat menunjukkan gairah yang tinggi terhadap suatu hal yang kita lakukan, sedangkan bakat adalah potensi kita dalam melakukan hal tersebut. Selanjutnya, pengalaman adalah apa sajakah yang sudah kita alami (terutama pengalaman keberhasilan), khususnya mengenai hal yang kita sukai tadi.

Maka dari itu, selagi kita dalam masa work (study) from home, sebaiknya kita mulai menggali lagi apakah minat-bakat dan pengalaman keberhasilan kita di bidang tertentu.

Minat

Coba digali kembali apa saja minat kita sebenarnya. Tulislah sebanyak-banyaknya di selembar kertas, apa saja yang menurut kita hal yang seringkali kita lakukan, khususnya dengan ‘perasaan bahagia’. Setelah itu, berilah peringkat mulai dari angka 1 dan seterusnya sampai daftar tersebut habis. Selanjutnya, kerucutkan daftar tersebut menjadi 3 hal yang sangat kita sukai untuk dilakukan. Kunci dari minat adalah: apabila kita melakukan hal tersebut, waktu serasa berjalan dengan cepat. Mudah kan mendeteksinya?

Bakat

Nah, ini biasanya diukur melalui test psikologis tertentu. Namun, tidak tertutup kemungkinan dengan test yang berhubungan dengan apa yang ingin kita ukur. Misalnya, apabila kita ingin mengetahui apakah seseorang berbakat memainkan alat musik atau tidak, maka orang tersebut dapat kita minta untuk memainkan alat musik tertentu. Kita dapat mengetes diri kita sendiri sebenarnya, misalnya kita ingin mengetahui apakah kita berbakat menyanyi atau tidak, maka kita dapat langsung bernyanyi di depan keluarga kita dan bertanya apakah suara kita enak didengar. Bagaimana? apakah kita siap?

Pengalaman

Supaya kita mengetahui apakah kita mempunyai pengalaman, terutama pengalaman berhasil dalam melakukan apa yang kita inginkan, maka caranya mudah. Apakah kita pernah mencoba berkompetisi atau ikut lomba-lomba tertentu dalam bidang tertentu? Apakah yang pernah kita raih sehubungan dengan minat-bakat kita itu? Sebaliknya, apakah ada pengalaman traumatis sehubungan dengan hal itu? Bagaimana cara kita mengatasinya atau mencari solusinya?

Practice makes perfect!

Apabila kita sudah cukup mengetahui apakah minat-bakat dan pengalaman kita dalam bidang tertentu, maka saat ini bisa dibilang sebagai ‘start’ kita. Selama masa work (study) from home, kita mempunyai banyak waktu untuk memulai dan mengasah ketrampilan kita ini. Jadi ayo, kita mulai berlatih setiap hari, agar kemampuan kita meningkat. Apalagi ini memang suatu hal yang kita sukai, kita kuasai, dan dapat membanggakan diri kita. Jadi mengapa tidak?

Catatan:

Artikel ini telah terbit di web Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, tanggal 20 April 2020.

Link: http://fp.untar.ac.id/fakultas/beritadetail/2672/Work-from-home-Saatnya-menemukan-minat-dan-bakat-kita

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar